"OM SUASTI ASTU OM" RAHAJENG RAUH RING BLOGGER BKSD PEMENANG LOMBOK UTARA, "OM SHANTI SHANTI SHANTI OM"

31.1.13

Daftar Dewa-Dewi Hindu


Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Artikel ini merupakan daftar Dewa-Dewi dalam agama Hindu. Nama Dewa-Dewi telah diadaptasi dengan ejaan di Indonesia, seperti: Vishnu menjadi Wisnu; Shiva menjadi Siwa; Aƛhvin menjadi Aswin. Karena mengalami adaptasi, beberapa nama Dewa atau Dewi yang diawali dengan huruf W mengalami perubahan menjadi huruf B, dan demikian juga sebaliknya. Beberapa Dewa memiliki nama lain (misalnya: Kumara = Kartikeya = Murugan) dan terasa seperti ada Dewa yang berbeda-beda, namun sebenarnya hanya ada satu. Semua nama tersebut dicantumkan dalam daftar ini namun Dewanya tetap satu.

Daftar isi

A

B

C

D

G

H

I

J

K

L

M

N

P

R

S

T

U

W

Y

Dewa istimewa

Selain memuja Dewa-Dewi yang berwujud halus, beberapa sekte umat Hindu di India juga memuja makhluk dengan jiwa terberkati. Mereka bukan Dewa yang gaib, namun makhluk yang dekat hubungannya dengan Tuhan. Sebagian besar merupakan Awatara atau penitisan Brahman maupun manifestasinya.
Dewa-Dewi tersebut tercatat dalam daftar berikut ini.

Lihat pula


30.1.13

SEJARAH HINDU BALI

Sejarah dan perkembangan agama Hindu di Bali tidak terlepas dengan perkembangan agama Hindu di Indonesia. Demikian pula perkembangan agama Hindu di Indonesia merupakan kelanjutan dari perkembangan agama Hindu di India. Sejarah dan perkembangan Hindu di Indonesia. Sejarah dan perkembangan agama Hindu di Bali diduga mendapat pengaruh dari Jawa Tangah dan Jawa Timur. Masuknya agama Hindu di Bali diperkirakan sebelum abad ke-8 Masehi, karena terdapat bukti berupa fragmen-fragmen pada prasasti yang ditemukan di desa Pejeng, Gianyar yang berbahasa Sanskerta. Ditinjau dari segi bentuk hurufnya diduga sejaman dengan meterai tanah liat yang memuat mantra Budha yang dikenal dengan "Ye te mantra", dan diperkirakan berasal dari tahun 778 Masehi. Pada baris pertama dari dalam prasasti itu menyebutkan kata "Sivas.......ddh......." yang oleh para ahli, terutama Dr. R. Goris menduga kata yang hampir pudar itu kemungkinan berbunyi: "Siva Siddhanta". Dengan demikian pada abad ke-8, Paksa (Sampradaya atau Sekta) Siwa Siddhanta sudah berkembang di Bali. Berkembangnya ajaran agama yang dianut oleh raja dan rakyat tentunya melalui proses yang cukup panjang, sehingga dapat dikatakan Hindu Sekte Siwa Siddhanta sudah masuk secara perlahan-lahan sebelum abad ke-2 hingga ke-8 Masehi.
Bukti lainnya adalah ditemukannya arca Siwa di Pura Putra Bhatara Desa di Bedahulu, Gianyar. Arca tersebut merupakan satu tipe dengan arca-arca Siwa di Candi Dieng yang berasal sekitar abad ke-8, yang menurut Stutterheim tergolong berasal pada periode seni arca Hindu Bali. Dalam prasasti Sukawana di Bangli yang memuat angka 882 Masehi, menyebutkan adanya tiga tokoh agama yaitu Bhiksu Sivaprajna, Bhiksu Siwa Nirmala dan Bhiksu Sivakangsita yang membangun pertapaan di Cintamani (di Kintamani), yang menunjukkan kemungkinan telah terjadi sinkretisme antara Siwa dan Budha di Bali . Bila dilihat perkembangannya, kedua aliran agama tersebut sesungguhnya berasal dari pohon yang sama yaitu ajaran Hindu. Berkembangnya dan terjadinya sinkretisme antara penganut Siwa dan Buddhisme di Bali, diduga lebih menonjol pada masa pemerintahan raja besar Dharma Udayana Warmadeva, karena kedua agama tersebut merupakan agama yang diakui kerajaan. Secara tradisional disebutkan bahwa agama Hindu dikembangkan oleh Maharsi Markandeya yang datang ke Bali dengan para pengikutnya membuka lahan pertanian. Daerah yang dituju awalnya adalah daerah di kaki Gunung Agung, kemudian pindah menuju arah Barat dan tiba di desa Taro, Gianyar. Beliau menanam Panca Datu (lima jenis logam) di Pura Agung Besakih, yang menurut Narendra Pandit Shastri (tahun 1957), Maharsi Markandeya ini yang mengajarkan agama Siwa di Bali dan mendirikan Pura Wasuki (Besukihan) yang merupakan cikal bakal perkembangan Pura Besakih sekarang ini.
Bersamaan dengan datangnya agama Hindu di Bali pada abad ke-8, ditemukan pula peninggalan yang menunjukkan masuknya agama Buddha Mahayana. Bukti masuknya agama Buddha Mahayana diketahui dari stupika-stupika tanah liat yang tersebar di daerah Pejeng Selatan, Tatiapi dan Blahbatuh, Gianyar. Seluruh stupika di Pura Penataran Sasih, desa Pejeng dapat diselamatkan dan dipindahkan ke Museum Bali di Denpasar. Sekitar abad ke-13 Masehi, berkembang pula sekte Bhairava dengan peninggalan berupa arca-arca Bhairava di Pura Kebo Edan desa Pejeng. Sekte ini kemungkinan berkembang sebagai akibat hubungan politis dengan kerajaan Singhasari (Singosari) di Jawa Timur, pada masa pemerintahan raja Kertanegara. Berdasarkan data tersebut, ternyata awal kedatangan agama Hindu (Sivaisme) dengan Buddha (Mahayana) hampir bersamaan, yang kemudian agama Buddha Mahayana ini akhirnya melebur ke dalam agama Hindu yang saat ini diwarisi oleh masyarakat di Bali.
Pada masa Bali Kuno merupakan masa tumbuh dan berkembangnya agama Hindu yang mencapai kejayaan pada abad ke-10, yang ditandai dengan berkuasanya raja suami istri yaitu Dharma Udayana Warmadewa dan Gunapriyadharmapatni. Pada masa ini terjadi proses Jawanisasi di Bali, yakni prasasti-prasasti berbahasa Bali Kuno digantikan dengan bahasa Jawa Kuno dan kesusastraan Hindu berbahasa Jawa Kuno dibawa dari Jawa dan dikembangkan di Bali. Masa Bali Kuno ini berakhir pada masa pemerintahan raja Astasura-ratnabhumibanten yang ditundukkan oleh ekspansi kerajaan Majapahit dibawah pimpinan mahapatih Gajah Mada. Pada masa Bali Kuno ini pertumbuhan agama Hindu demikian pesat. Pada masa pemerintahan raja Dharma Udayana, seorang pandita Hindu bernama Mpu Rajakerta menjabat Senapati i Kuturan (semacam perdana mentri) yang menata kehidupan keagamaan dengan baik dan terwarisi hingga sekarang. Saat itu sekte-sekte yang berkembang, yang menurut penelitian Dr. R.Goris (1926) jumlahnya ada 9 sekte, antara lain Siva Siddhanta, Pasupata, Bhairava, Vaisnava, Bodha (Soghata), Brahmana, Rsi, Sora (Surya) dan Ganapatya. Sedangkan pada beberapa lontar di Bali disebutkan 6 sekta yang disebut Sad Agama, yang terdiri dari Sambhu, Brahma, Indra, Bayu, Wisnu dan Kala. Di antara keseluruhan, rupanya yang sangat dominan dan mewarnai kehidupan agama Hindu di Bali adalah Siva Siddhanta dengan peninggalan beberapa buah lontar (teks) antara lain: Bhuvanakosa, Vrhaspatitattva, Tattvajnana, Sang Hyang Mahajnana, Catur Yuga, Vidhisastra dan lain-lain. Mudra dan Kutamantra yang dilaksanakan oleh para pandita Hindu di Bali dalam aktivitas ritual pelaksanaan Pujaparikrama bersumber pada ajaran Siva Siddhanta.
Pada saat Senapati i Kuturan yang dijabat oleh Mpu Rajakerta, lebih dikenal dengan nama Mpu Kuturan, rupanya seluruh sekta tersebut dikristalisasikan dalam bentuk pemujaan kepada Tri Murti yang melandasi pembangunan Desa Krama (Pakraman) atau Desa Adat di Bali hingga kini. Fragmen-fragmen peninggalan sekta-sekta lainnya masih dapat ditemukan baik berupa peninggalan purbakala, karya sastra dan aktivitas ritual.
Ketika Bali memasuki abad pertengahan (abad 14 sampai dengan 19 Masehi), di bawah hegemoni Majapahit, maka kehidupan dan tradisi Majapahit berpengaruh di Bali. Dalam kitab Negarakertagama disebutkan "Bhumi Balya i sacara lawan bhumi Jawa", yang menunjukkan bahwa pengaruh Majapahit demikian dominan di Bali. Pada masa pemerintahan raja besar Waturenggong (Dalem Batrurenggong) di Gelgel, seorang penasehat raja bernama Danghyang Nirartha (Dwijendra) juga memegang peranan penting. Saat itu kehidupan agama diwarnai dengan perkembangan Siwaisme yang sangat dominan, di samping diakui pula eksistensi Buddhisme dengan tokohnya Danghyang Astapaka dan Vaisnava dengan tokohnya Mpu Mustika.

AGAMA HINDU DHARMA

Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha ("agama Air Suci")[1] adalah sejenis agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh kebanyakan orang Bali di Indonesia. Agama Hindu di Bali merupakan sinkretisme unsur-unsur Hindu aliran Siwa, Waisnawa, dan Brahma dengan kepercayaan lokal (local genius) orang Bali.

Daftar isi

Sejarah

Peninggalan terkuno yang dikenal di Indonesia berkaitan dengan agama Hindu adalah arca Ganesha dan Siwa yang ditemukan di pulau Panaitan dan diperkirakan dari abad pertama setelah Masehi[2]. Selain itu, ada juga tujuh buah yupa yang ditemukan di Kutai, Kalimantan Timur, dan diperkirakan dari sekitar tahun 400 Masehi.[3] Di Bali, peninggalan terkuno yang dikenal adalah arca Siwa yang ditemukan di Bedulu, Gianyar, dan diperkirakan dari abad ke-8[4] yang coraknya mirip dengan arca Siwa yang ditemukan pada abad ke-8 di dataran tinggi Dieng, Jawa Tengah.

Catur Warna

Di Bali berlaku sistem Catur Varna (Warna), yang mana kata Catur Warna berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata Catur berarti empat dan kata warna yang berasal dari urat kata Wr (baca: wri) artinya memilih. Catur Warna berarti empat pilihan hidup atau empat pembagian dalam kehidupan berdasarkan atas bakat (guna) dan ketrampilan (karma) seseorang, serta kualitas kerja yang dimiliki sebagai akibat pendidikan, pengembangan bakat yang tumbuh dari dalam dirinya dan ditopang oleh ketangguhan mentalnya dalam menghadapi suatu pekerjaan. Empat golongan yang kemudian terkenal dengan istilah Catur Warna itu ialah: Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.
Warna Brahmana: Disimbulkan dengan warna putih, adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kerohanian keagamaan.
Warna Ksatrya: Disimbulkan dengan warna merah adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdian dalam swadharmanya di bidang kepemimpinan, keperwiraan dan pertahanan keamanan negara.
Warna Waisya: Disimbulkan dengan warna kuning adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang kesejahteraan masyarakat (perekonomian, perindustrian, dan lain- lain).
Warna Sudra: Disimbulkan dengan warna hitam adalah golongan fungsional di dalam masyarakat yang setiap orangnya menitikberatkan pengabdiannya di bidang ketenagakerjaan.
Dalam perjalanan kehidupan di masyarakat dari masa ke masa pelaksanaan sistem Catur Warna cenderung membaur mengarah kepada sistem yang tertutup yang disebut Catur Wangsa atau Turunan darah. Padahal Catur Warna menunjukkan pengertian golongan fungsional, sedangkan Catur Wangsa menunjukkan Turunan darah.

Hari Raya Agama

 

Upacara Agama Hindu Dharma di Pura Lingga Sari Banjar Karya Sidha Dharma Pemenang KLU
.
Hari raya keagamaan bagi pemeluk agama Hindu Dharma, umumnya di hitung berdasarkan wewaran dan pawukon. Kombinasi antara Panca Wara, Sapta Wara dan Wuku. Namun adapula Hari raya yang menggunakan penanggalan Saka.

Hari Raya Berdasarkan Wewaran

  • Galungan — Jatuh pada: Buda, Kliwon, Dungulan
  • Kuningan — Jatuh pada: Saniscara, Kliwon, Kuningan
  • Saraswati — Jatuh pada: Saniscara, Umanis, Watugunung. Hari Ilmu Pengetahuan, pemujaan pada Sang Hyang Aji Saraswati.
  • Banyupinaruh — Jatuh pada: Redite, Pahing, Shinta
  • Pagerwesi

Hari Raya Berdasarkan Kalender Saka

  • Siwaratri
  • Nyepi

Upacara Keagamaan

Upacara keagamaan yang dilakukan dalam Agama Hindu Dharma, berkolaborasi dengan budaya lokal. Ini menjadi kekayaan dan keunikan yang hanya ditemukan di Bali.

Manusa Yadnya

  • Otonan / Wetonan, adalah upacara yang dilakukan pada hari lahir, seperti perayaan hari ulang tahun, dilakukan 210 hari.
  • Upacara Potong Gigi, adalah upacara keagamaan yang wajib dilaksanakan bagi pemeluknya. Upacara ini dilakukan pada pemeluk yang telah beranjak remaja atau dewasa. Bagi wanita yang telah mengalami menstruasi, dan bagi pria yang telah memasuki akil balik.

Pitra Yadnya

  • Upacara Ngaben, adalah prosesi upacara pembakaran jenazah, Sebagaimana dalam konsep Hindu mengenai pembakaran jenazah, upacara ini sebagai upaya untuk mempercepat pengembalian unsur-unsur/zat pembentuk dari raga/wadag/badan kasar manusia.Ada empat lontar utama yang memberi petunjuk tentang adanya upacara Pitra yadnya, yaitu Yama Purwa Tatwa (mengenai sesajen yang digunakan), Yama Purana Tatwa (mengenai filsafat pembebasan atau pencarian atma dan hari baik-buruk melaksanakan upacara), Yama Purwana Tatwa (mengenai susunan acara dan bentuk rerajahan kajang), dan Yama Tatwa (mengenai bentuk-bentuk bangunan atau sarana upacara).

Lihat pula

Rujukan

  1. ^ Oleh para penganutnya juga sering disebut sebagai "agama Hindu" saja.
  2. ^ Mal Clarbrough, 1996
  3. ^ Midastra, I Wayan; dkk. (2007). I.G.B. Widyantara. ed. Widya Dharma Agama Hindu untuk SMP Kelas VIII. Jakarta: Ganeca Exact. hlm. 27. ISBN 979-744-737-5.
  4. ^ Midastra, I Wayan, dkk (2007). hlm. 30.

Pranala luar